Ku menatap langit yang tenang
Dan takkan menangisi malam
Ku tetap berdiri ku melawan hari
Ku akan berarti
Ku tak kan mati…
(Peterpan)
Apalah hidup jika hanya ditangisi? Bukankah hidup juga selalu menyisakan bingar yang menyenangkan? Kesendirian yang berpadu dengan kesedihan memang merupakan sesuatu yang pahit. Hingga tak terasa bulir air mata menjadi penghias malam-malam sepi nan mengigit. Tapi bukankah kesendirian juga menyisakan hikmah tersendiri? Inilah saat-saat dimana jiwa bisa merenung, menghitung ulang tabungan pahala atau torehan dosa, bercumbu dengan Sang Maha Kasih dan menumpahkan segala rahasia hati hanya padaNya tanpa khawatir rahasia kan terbongkar.
Atau “kesendirian” juga bisa bermakna “kebebasan” dimana kita bisa dengan leluasa melakukan amal produktif dibandingkan jika kita telah membersamai seseorang. Meski tak pelak diri harus mengakui bahwa burung kan terbang jauh membumbung jika bersayap utuh. Namun, jika sayap kita belum lagi genap, yang perlu dilakukan hanyalah mencoba tetap mengepakkan sayap dan tetap terbang semampu yang bisa kita tempuh.
Mencumbui kesendirian dengan air mata toh tidak akan mengubah apa-apa. Apalagi jika kita sadar bahwa hidup pada hakikatnya adalah pergiliran. Ada yang datang dan pergi seperti pagi yang merebut malam ataupun sebaliknya. Kelak, kan datang yang lainnya sebagai sebuah kepastian bahwa Alloh telah menetapkan seseorang untuk kita.
Maka, sendiri tak harus berarti “mati” bukan? Sendiri bisa lebih berarti jika kita bisa memaknainya dari kaca mata yang berbeda. Bahwa selalu ada hikmah di balik setiap peristiwa. Saat kesedihan itu menyergap, salah satu terapinya barangkali adalah menatap langit tanpa batas seraya tetap berharap dan bergantung kepada Pemilik langit dan bumi juga jiwa ini.